Arassegaf Corner

ArabicEnglishIndonesian

Pendidikan Qalbu Menurut Imam AL-Ghazali

Imam al-Ghazali merupakan sosok cendekiawan muslim dan filosof muslim yang masyhur tidak hanya dalam khazanah keilmuan Islam, tetapi juga masyhur dalam khazanah intelektual barat. Imam al-Ghazali memiliki keilmuan yang begitu luas. Oleh karenanya beliau memiliki gelar Hujjatul Islam dan AlImam Al-Jalli. Orang-orang Barat sering menyebutnya dalam Bahasa Latin dengan sebutan Alghazel.

Imam al-Ghazali memiliki nama lengkap Imam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali at-Thusi. Beliau lahir di Thus; sebuah daerah di Negara Iran pada tahun 450 H/1058 M. Al-Ghazali hidup dibawah asuhan Ahmad Razkhani ini diperkirakan hingga ia berusia 15 tahun. kemudian ia mulai merantau untuk menuntut ilmu di Jurjan pada Abu Nashi al-Isma’ili. Setelah selesai belajar di Jurjan ia kembali lagi ke Thus untuk menetap selama tiga tahun untuk mempelajari tasawuf dan mempraktekan ajaran-ajarannya di bawah bimbingan Yusuf Al-Nassaj.

Selama belajar di Naisabur, Al-Ghazali sudah mulai menampakkan kecerdasannya yang tinggi. Dalam waktu yang relatif singkat, ia mampu menguasai berbagai keilmuan yang diajarkan oleh para gurunya dengan baik. Imam Al-Haramain Al-Juwaini, seorang Ulama yang juga guru besar Universitas Nizamiyah yang menggambarkan Al-ghazali sebagai murid yang alim dan memiliki ilmu pengetahuan yang dalam melbihi murid-nya yang lain. Meskipu ia berhasil mendapatkan perhatian gurunya secara lebih, Al-Ghazali tetap menaruh hormat yang tinggi kepada gurunya.

Selama berada di Naisabur, Al-Ghazali tidak saja belajar dengan Imam Al-Haramain, akan tetapi ia juga memanfaatkan kesempatannya untuk mempelajari tasawuf dengan menjadi pengikut seorang sufi, Abu Al-Fadl bin Muhammad bin ‘Ali Al-Farmadhi Al-Thusi, seorang murid pamannya Al-Qusyairy yang ahli tasawuf. Dengan Imam Al-Farmadhi ia belajar tentang teori dan praktik-praktik tasawuf

Selanjutnya, saat ia berusia 25 tahun, tepatnya pada tahun 475 H, Al-Ghazali dipercaya oleh gurunya untuk menjadi pengajar pada berbagai fakultas di Universitas Nizamiyyah Naisabur. Bahkan Al-Ghazali juga diminta oleh Nizamul Mulk untuk mendiami Muaskar, yakni tempat kediaman para petinggi negara yang terdiri atas para sarjana dan Ulama-ulama besar yang ahli dalam berbagai ilmu.

Al-Ghazali termasuk tokoh yang sukses dalam dunia intelektual Islam. Sukses yang diraihnya itu menarik simpati dan perhatian para pembesar Dinasti Saljuk untuk meminta nasihat dan pendapatnya dalam masalah agama dan negara. Semenjak itu mulailah ia berpengaruh dalam Dinasti Saljuk. Ia merupakan guru istana dan mufti besar yang hidup di bawah lindungan penguasa-penguasa keluarga Saljuk.

Meskipun Imam Al-Ghazali tergolong sukses dalam kehidupannya di Baghdad, semua itu tidak mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan bahkan membuatnya gelisah dan menderita, ia menanyakan mengenai kebenaran jalan ang ia tempuh. Perasaannya itu muncul setelah mempelajari ilmu kalam (teologi). Yang dituangkan dalam bukunya al-Munqidz min al-Dalal. Dalam bukunya itu Imam Al-Ghazali ingin mencari kebenaran yang sebenarnya dan dimulai dengan tidak percaya dengan pengetahuan yang dimulai dengan panca indera sering kali salah atau berdusta. Ia kemudian mencari kebenaran dengan sandaran akal, tetapi akal juga tidak dapat memuaskan hatinya. Hal ini diungkapkan dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Yang isinya berupa tanggapan dan sanggahan terhadap para filosof. Setelah mencapai puncak pengembaraan intelektual dan spiritualnya, Al-Ghazali mulai menyebarkan ajaran-ajaran tasawufnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Al-Ghazali mengajarkan umat untuk kembali kepada kehidupan spiritual yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang berlandaskan pada asas-asas syari’at Islam serta mengikuti contoh dari Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Ajaran Al-Ghazali menekankan usahanya pada pendidikan akhlak dan moral. Sebab pada segi-segi inilah letak pokok pangkal segala krisis yang terjadi di masyarakat dan sekaligus bisa menjadi pokok pangkal timbulnya keamanan, ketertiban dan kebahagiaan dalam masyarakat.

Al-Ghazali menekankan pengertian dan hakikat kejadian manusia pada rohani atau jiwa. Manusia itu pada hakikatnya adalah jiwanya. Jiwanyalah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Dengan jiwa manusia bisa berpikir, merasa, berkemauan dan berbuat lebih banyak. Jadi jelasnya jiwa itulah yang hakiki dari manusia karena sifatnya yang latif, rohani dan robbani, serta abadi sesudah mati. Keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat banyak tergantung pada kejadian jiwanya, sebab jiwa merupakan pokok dari agama dan asas bagi orang yang berjalan menuju Allah, serta tergantung ketaatan dan kedurhakaan manusia kepada Allah. Jiwalah yang hakikatnya taat pada Allah atau yang durhaka dan ingkar kepada-Nya.

Menurut Al-Ghazali jiwa yang merupakan hakikat diri dan zat manusia itu adalah jauhar (substansi) rohani dan bukan aradh (aksiden) serta bersih dari sifat kebendaan. Ditekannya unsur jiwa dalam konsepsi Al-Ghazali tentang manusia sama sekali tidalah berarti ia mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga ia pentingkan karena rohani sangat menentukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadat kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. Pandangan Al-Ghazali tentang manusia sebagaimana dikemukakan di atas pada hakekatnya mengacu kepada konsep al-insanu al-kamil. Al-Ghazali memang secara tegas tidak menyatakan konsep al-insanu al-kamil, tetapi al-insanu al-kamil dalam arti figur (bentuk) manusia yang ingin dibentukkan ada dalam pemikirannya. Dalam hal ini ia menggunakan istilah muthi’at yaitu orang yang taat kepada Allah dan rosul-Nya untuk menunjuk kepada al-insanu al-kamil.

Leave a Comment