Arassegaf Corner

ArabicEnglishIndonesian

Pendidikan Kalbu Perspektif Al-Ghazali : Sebuah Upaya Mengembangkan Pendidikan Islam Berbasis Afektif

Biografi Sosial Intelektual Al-Ghazali

Imam al-Ghazali merupakan sosok intelektual muslim yang masyhur. Ia tidak hanya dikenal dalam khazanah keilmuan Islam, tetapi juga dalam khazanah intelektual barat. Imam al-Ghazali memiliki kecerdasan yang tinggi dan keilmuan yang begitu luas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia memiliki gelar Syekh Hujjatul Islam dan Al-Imam Al-Jalli.

Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali At-Thusi Asy-Syafi’i. Di dunia barat, Al-Ghazali lebih dikenal dengan sebutan Algazel.  Al-Ghazali yang lahir di pinggiran sebuah desa kota Thus yang Bernama Gazaleh kawasan Khurasan, Irak pada tahun 1058M/450H. Al-Ghazali berasal dari keturunan dari keluarga yang kurang mampu. Yang mana ayahnya merupakan seorang pemintal wol. Sepeninggal ayahnya, Al-Ghazali dititipkan kepada seorang sufi yang kemudian disekolahkan di madrasah sebagai langkah awal untuk mengembangkan sisi spiritual dan intelektualnya.

Al-Ghazali mulai belajar hukum di usia muda di Thus di bawah bimbingan Syekh Ahmad bin Muhammad al-Radhkani al-Thusi. Kemudian Al-Ghazali melajutkan studi ke Jurjan. Beliau menimba ilmu di bawah seorang alim yang bernama Imam Abu Nasr al-Ismail. Selama Al-Ghazali menimba ilmu, Al-Ghazali dikenal sebagai sosok yang sangat bersungguh-sungguh dan tekun yang mengesankan gurunya.

Di sebuah kota Thus di bagian kota Khurasan, yaitu wilayah pusat pergerakan anti kebangsaan Arab serta wilayah pergerakan tasawuf. Sehingga pada saat itu terjalin dan terjadi interaksi antara filsafat dan interpretasi sufistik yang menjadi budaya yang sangat intelek pada masa Imam Al-Ghazali. Kemudian Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya di universitas Nizamiyah pada masa Daulah Abbasiyah di Baghdad dan berguru kepada Imam Al-Haramain Al-Juwaini. Pada saat itu, beliau menguasai berbagai disiplin ilmu seperti ilmu mantiq, ilmu filsafat, ilmu kalam, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu retorika peribadatan, dan ilmu tasawuf. Setelah Imam Haramain meninggal, beliau mengunjungi Menteri Nizam Al-Mulk di al-Azhar. Kemudian Nizam Al-Mulk mempertemukan al-Ghazali dengan berbagai para alim ulama serta para ilmuan yang membuat mereka mengakui ketinggian ilmu yang dimiliki oleh Imam Al-Ghazali. Selanjutnya Nizam Al-Mulk melantik Al-Ghazali sebagai professor di Universitas Nizamiyah yang berada di kota Baghdad dan menjadi pimpinan Universitas Nizamiyah dalam bidang agama islam pada tahun 181H/1091M (Miftahuddin, 2020).

Pandangan Al-Ghazali tentang Hakikat Manusia

Hakikat manusia menjadi salah satu objek kajian yang banyak menyita pemikiran Imam Al-Ghazali. Al-Ghazali, melalui telaah karya-karya kitabnya banyak mengungkapkan pandangannya mengenai hakikat manusia. Ia memandang bahwa padacdasarnya manusia terdiri atas unsur jasmani (materi) dan rohani (immateri). Manusia diciptakan oleh Allah Swt memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi.   Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan pengertian dan hakikat kejadian manusia sejatinya adalah rohani atau jiwa. Manusia itu pada hakikatnya adalah jiwanya. Unsur jiwa inilah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Dengan daya jiwa, manusia mampu untuk berpikir, menghayati berkehendak dan beramal dalam kehidupannya. Ketika manusia meninggal dunia, maka jiwa akan tetap ada, ia tidak mati, tetapi ia berganti alam sesudah kematian. Maka, jiwa itulah yang hakiki dari manusia karena sifatnya yang latif, rohani dan robbani, serta abadi sesudah mati. Keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat tergantung pada kondisi jiwanya, sebab jiwa merupakan pokok dari agama dan asas bagi hamba yang berjalan menuju Allah Swt. Jiwalah yang hakikatnya taat pada Allah atau yang durhaka dan ingkar kepada-Nya.

Konsep Kalbu Dalam Pemikiran Al-Ghazali

Konsep pendidikan Islam dalam pemikiran Imam Al-Ghazali erat kaitannya dengan hakikat manusia itu sendiri. Hakikat manusia sebagaimana telah dipaparkan diatas, pada dasarnya adalah kalbu (al-qalb) yang bersemayam dalam diri manusia. Maka, kalbu menjadi unsur penting dalam diri manusia dalam membentuk kepribadian manusia menuju manusia paripurna.

Kalbu secara etimologi berasal dari bahasa Arab “القلب” jamaknya “قلوب” yang berarti segumpal daging atau sesuatu yang dapat membalik atau berbolak balik (Munawwir, 2007, hlm. 314).  Sedangkan secara terminologi, Al-Ghazali mendefinisikan kalbu sebagai tempat yang befungsi untuk menyerap ilmu pengetahuan atau yang disebut sesuatu yang halus (Lathiifah). Lathifah ini merupakan sebuah ruang atau tempat dimana ilmu dapat melekat padanya. Sesuatu yang halus inilah hakikat manusia yang tidak bisa diselami oleh akal dan pikiran, tetapi dengan perasaan, dan perasaan ini harus diikat dengan al-Qur’an dan Sunnah supaya bisa terarah kepada kebenaran Allah swt.

Al-Ghazali mendefinisikan kalbu ke dalam dua pengertian. Pertama, kalbu berarti daging yang berbentuk lentur yang terdapat di sebelah kiri dada manusia dan roh. Daging dalam bentuk seperti ini juga terdapat pada hewan dan manusia yang telah meninggal dunia. Kalbu dalam pengertian kedua berarti suatu benda yang sangat halus (al-lathifah) yang didominasi oleh sifat ruhani atau spiritual. Seluruh anggota tubuh memiliki hubungan dengan yang satu ini. Benda yang sangat halus inilah yang mampu untuk mengenali Tuhan Sang Pencipta, Allah Swt dan menjangkau semua yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran serta angan-angan manusia. Dan dari bagian inilah (kalbu) hakikat manusia dinilai baik atau buruknya oleh Allah Swt. Makna ini ditunjukkan melalui firman Allah Swt dalam QS. Qaaf ayat 37:

إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”(AL-QURAN DAN TERJEMAHNYA, 2012).

Konsep Pendidikan Kalbu Perspektif Al-Ghazali

Konsep pendidikan kalbu Al-Ghazali meletakkan moral velue sebagai tujuan pendidikan. Dalam pemikirannya, ia menaruh perhatian besar terhadap pembinaan moral manusia. Dan ia banyak menjadikan moral sebagai misi utama dan mengkaitkan moralitas dengan nilai-nilai spiritual sebagai korelasi yang tak terpisahkan. Ia mampu membuka tabir keterkaitan dan kolaborasi pada prinsip dan cabang ibadah dengan corak moralitas dalam jiwa manusia.

Al-Ghazali memandang bahwa segala aktivitas perilaku seseorang itu dipengaruhi oleh perasaan-perasaan dalam jiwanya. ternyata ada unsur batin yang mengaturnya. Perasaan ini kemudian di sifatkan dengan suatu kedaan jiwa yang akan melahirkan perilaku yang baik atau buruk. Dalam hal ini Al-Ghazali menyatakan:

Tugas pertama manusia mendahulukan kesucian batin daripada kerendahan budi dan dari sifat-sifat tercela. Sifat-sifat yang tercela ini adalah sifat-sifat yang rendah yaitu marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabbur, ‘ujub, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut adalah anjing-anjing yang galak”. (al-Ghazali & Ismail Yakub, t.t., hlm. 189) .

Kalbu (Jiwa) merupakan fitrah yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia sejak ia diciptakan. Kalbu merupakan zat yang tidak terlihatkan oleh kasat mata manusia, namun ia dapat dianalisa melalui fenomena perilaku dan moral manusia. Fenomena-fenomena yang muncul dari tingkah laku manusia selalu menggambarkan bagaimana kondisi (ahwal) jiwa manusia itu sendiri, karena akhlak merupakan manifestasi dari jiwa.

Dalam hal metode pendidikan Islam, Al-Ghazali seringkali memakai istilah Al-Riyadhah (melatih jiwa). Dalam hal mendidik anak, Al-Ghazali terlebih dahulu mengarahkan pendidikan kepada pembinaan mental anak (afektif) dibandingkan aspek ilmu pengetahuannya (kognitif).  Ada dua jenis metode yang dipergunakan Al-Ghazali dalam pendidikan Islam, yaitu metode pembentukan kebiasaan dan metode tazkiyatu al-nafs. Metode pertama ditekankan pemakaiannya pada pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa pada anak-anak. Sedangkan metode kedua penerapannya ditekankan pada pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa bagi orang dewasa. Dengan demikian, penyucian jiwa (tazkiyatun nafsi) ini erat hubungannya dengan pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa pada orang dewasa karena misi dari tazkiatun nafsi itu sendiri adalah tujuan kepada orang yang aqil baligh. Kedua metode ini dapat diartikan sebagai metode penanaman nilai dan pembentukan akhlak.[1]


[1] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, 106–9.

Leave a Comment