Arassegaf Corner

ArabicEnglishIndonesian

Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter di Indonesia

Konsep Pemikiran Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih adalah seorang filosof muslim yang banyak memusatkan perhatiannya terhadap akhlak (al falsafat al-amaliyat). Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ya’kub Ibnu Miskawaih, lahir di kota Rayy yang lokasinya terletak di dekat Teheran Modern-Iran pada tahun 320 H/932 M dan Wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421/16 Februari 1030 M (Syar’i, 2005). Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi yang mayoritas pemukanya bermadzhab syi’ah (Nata, 2003). Perjalanan hidup Ibnu Miskawaih tidak dihabiskan seluruhnya di Rayy, beliau pernah hijrah menuju bagdad dan mengabdi pada pangeran Buwaihi namun kemudian kembali lagi ke Rayy dan dipercaya menjaga perpustakaan besar yang menyimpan banyak rahasia, sehingga beliau diberi gelar al-Khazin (Nasution, 1999).

Ibn Miskawaih menjabarkan konsep pendidikan akhlak secara luas dalam karyanya yang berjudul Tahzib al-Akhlaq. Dalam kitab tersebut, ia menegaskan bahwa akhlak adalah suatu keadaan jiwa dan keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir dan dipertimbangkan terlebih dahulu. Ia membagi asal keadaan jiwa ini menjadi dua jenis, yaitu alamiah atau bertolak dari watak, dan tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Menurutnya, akhlak itu alami sifatnya, namun akhlak juga dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasehat-nasehat yang mulia. Pada mulanya, keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus menerus akan menjadi akhlak. Dengan demikian, sesuai dengan definisi tersebut, akhlak anak anak bertolak dari wataknya dan ia dapat berubah melalui latihan dan pembiasaan (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007).

Terdapat tiga tujuan pendidikan menurut Ibnu Miskawaih. Pertama, Mencetak tingkah laku manusia yang baik, sehingga manusia itu dapat berperilaku terpuji dan sempurna sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia. Kedua, Mengangkat manusia dari derajat yang paling tercela, derajat yang dikutuk oleh Allah SWT. Ketiga, Mengarahkan manusia menjadi manusia yang sempurna (al-insan al-kamil). Dalam hal ini maka hakikat tujuan pendidikan akhlak bagi anak adalah menumbuhkan dan membentuk perilaku mulia dalam diri anak agar dapat menjadi manusia sempurna, sehingga anak dapat menjadi manusia muliadi hadapan Allah SWT (Rosnita, 2013).

Dalam pemikirannya tentang etika atau akhlak, Ibnu Miskawaih mengawalinya dengan menyelami jiwa manusia. Menurutnya, kekuatan jiwalah yang akan melahirkan kekuatan (fadhilah) sewaktu gerak aktifitasnya normal (mu’tadilah), sesuai dan seimbang. Ibnu Miskawaih menggolongkannya menjadi tiga. 1) Bila gerak jiwa rasional (natiqah) normal, tidak menyeleweng dari hakekatnya dan kecenderungannya terhadaap ilmu pengetahuan yang benar, lahir keutamaan ilmu (fadhilah al-Ilm), kemudian kebijaksanaan (al-Hikmah), 2) Bila gerak jiwa apetitif (ghadabiyah) serasi dan seimbang, patuh terhadap petunjuk jiwa rasional, tidak bergejolak diluar batas, maka terjadilah keutamaan kesantunan (fadhilah al-Hilm), lalu disusul dengan keberanian (al-Suja’ah), 3) Bila gerak jiwa gairah (bahimyah) serasi dan seimbang, diantara kontrol daya jiwa rasional, patuh kepadanya, tidak mengikuti hawa nafsu, lahirlah keutamaan keberhasilan diri (fadhilah al-Iffah), lalu kedermawanan (al-Saha). Bila ketiga keutamaan tersebut al- Hikmah, al-Iffah dan al-Suja’ah bisa seimbangan dan kerasian anatara satu sama lain, maka munculah keadilan (al-adalah) yang sebenarnya.

Bahagia menurut pendapat Ibnu Maskwaih mempunyai dua tingkat. Pertama, ada manusia yang tertarik dengan hal-hal yang bersifat benar dan mendapat kebahagiannya. Kemudian ia mempunyai rasa rindu dengan kebahagiaan jiwa, kemudian ia berusaha untuk memperolehnya. Kedua, manusia yang memisahkan dirinya dari kenikmatan benda agar memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak dingkarinya, tetapi dipandang sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Ibnu Maskawaih mengungapkan bahwa kebahagiaan bersifat benda mengandung makna kepedihan dan penyesalan serta menghambat pertumbuhan jiwa untuk menuju kehadirat sang maha agung Allah Swt. Kebahagian jiwa adalah kebahagiaan yang paling sempurna dan mampu mengantarkan manusia untuk memiliki derajat yang paling tinggi (malaikat).

Keberadaan jiwa menurut Ibnu Maskawaih adalah untuk membantah kaum materialis yang tidak mengakui adanya roh bagi manusia. Roh tidak berbentuk materi sekalipun ia bertempat pada maeri, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, imateralaitas jiwa itu menunjukkan ketidakmateriannya, karena kematian adalah karakter yang material.

Ibn Miskawaih memandang bahwa pendidikan akhlak harus ditanamkan mulai dari anak usia dini karena perkembangan mental anak masih berevolusi sehingga berkembang sampai menuju kesempurnaan untuk menyimpan pesan-pesan yang sangat baik dan merasuk kedalam jiwa berpikir (Syar’i, 2005). Oleh karenanya pendidikan bukan semata-mata untuk mempelajari ilmu pengetahuan tetapi lebih jauh untuk mengkaji secara mendalam tentang seberapa pengaruh antara ilmu pengetahuan erhadap etika dan akhlak bermasyarakat.

Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dengan Pendidikan Karakter di Indonesia

Arah dan orientasi pendidikan akhlak Ibn Miskawaih adalah untuk membentuk manusia yang berakhlak karimah atau manusia susila yang dapat mencapai kebahagiaan (al-Sa’adah), sehingga mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Untuk memperoleh watak yang baik, akhlakul karimah, manusia susila diperlukan sebuah pendidikan. Watak (al-khulq) disebut sebagai kondisi jiwa yang mendorong lahirnya tingkah laku tanpa proses berpikir dan pertimbangan. Kondisi jiwa ini terbagi dua yaitu yang alami dan yang diperoleh dari kebiasaan setelah suatu perilaku dilakukan berulang-ulang. Sehingga kemudian usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adah) tidak dapat dilakukan sendiri melainkan harus bersama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi.

Gagasan pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian bangsa ke depan. Semua krisis kebangsaan yang terjadi di dunia baik ekonomi, politik dan sosial-budaya itu dikarenakan akhlak tidak lagi menjadi kerangka anutan. Dalam pendidikan, Ibnu Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi yang terdapat dalam ilmu agama dan materi yang terdapat dalam ilmu non-agama serta hukum mempelajarinya. Hal inilah yang menjadikan pemikiran beliau disebut sebagai dokrin jalan tengah.  

Ibnu Miskawaih menghadirkan sebuah konsep yaitu membangun manusia harus ditekankan pada pendidikan moral. Namun pendidikan moral tidak bisa jika tidak dibarengi dengan bidang pendidikan yang lain. Pendidikan moral yang dibalut dengan bidang pendidikan yang lain akan mampu memberikan keseimbangan terkait pembelajaran yang berorientasi kepada duniawi juga pembelajaran yang berorientasi kepada ukhrawi. Jadi, dengan menggunakan doktrin jalan tengah (penerapan pendidikan akhak-nilai dan moral), manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun juga. Uraian inilah yang menjadi penguat relevansi antara pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih dengan pendidikan karakter di Indonesia saat ini.

One thought on “Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter di Indonesia
Leave a Comment