Arassegaf Corner

ArabicEnglishIndonesian

PRINSIP FILSAFAT PENDIDIKAN ALIRAN REKONSTRUKSIONISME

Praktik pendidikan dewasa ini banyak yang menilai bahwa masih jauh sekali  dari apa yang diharapkan. Beberapa permasalahan diantaranya dari biaya pendidikan yang mulai semakin mahal, pendidik yang tidak berkualitas, kurikulumnya yang terkesan politik marketing oriented, bahkan hingga kenakalan para peserta didikyang menjadi sorotan. Semua permasalahan itu seolah hanya ditumpah-ruahkan terhadap satu pihak, yakni lembaga pendidikan, seolah tidak menyadari bahwa dirinya pernah menjadi peserta didik di sana. Muncul rasa tidak puas terhadap kinerja pendidikan nasional. Kata-kata ekstrempun sering terluapkan; bahwa pendidikan nasional telah gagal menjalankan misinya untuk membentuk manusia-manusia yang cakap dan berkepribadian serta membangun bangsa yang berkarakter. Konon pendidikan hanya bisa menghasilkan koruptor, kolutor, provokator, dan manusia-manusia tidak berbudi lainnya. Keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan dan terpengaruh oleh kehancuran, kebingungan serta keragu-raguan, demikianlah menurut pendapat beberapa pemikir yang menyatakan bahwa budaya modern telah mengalami krisis, sembari berusaha merombak tata susunan yang lama hingga membangun suatu konsep baru mengenai pola hidup kebudayaan yang lebih bercorak modern. Beberapa pemikiran itulah kemudian dikenal dengan Rekonstruksionisme.

Secara luas dapat kami kelompokkan menjadi 4 bagian prinsip dalam filsafat pendidikan aliran  rekonstruksionisme, diantaranya:

  • Penciptaan Tatanan Sosial yang Mendunia

      Persoalan-persoalan tentang kependudukan, sumber daya alam yang terbatas, kesenjangan global dalam distribusi  kekayaan, proliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit, dan penggunaa teknologi yang tidak bertanggung jawab telah mengancam dunia dan akan memusnahkannya jika tidak dikoreksi sesegera mungkin.Persoalan-persoalan tersebut menurut kaum rekonstruksionis berjalan seiring dengan tantangan totalitarianisme modern, yakni hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas dan meningkatnya kebodohan fungsional penduduk dunia. Singkatnya dunia sedang menghadapi persoalan persoalan sosial, militer dan ekonomi pada skala yang tak terbayangkan. Persoalan-persoalan yang dihadapi sudah sedemikian beratnya sehingga tidak bisa lagi diabaikan. Mengingat persoalan-persoalan yang bersifat mendunia, maka soslusinya pun harus demikian. Kerjasama menyeluruh dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan.

Bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia dengan segala keterbatasan sumber daya alamnya. Era teknologi telah memunculkan saling ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-kemajuan di biang sains. Di sisi lain, terdapat masalah yang sedang mendera yaitu kesenjangan budaya dalam beradaptasi dengan tatanan dunia baru.

      Menurut rekonstruksionisme, saat ini umat manusia hidup dalam masyarakat dunia yang mana kemampuan teknologinya dapat membinasakan kebutuhan-kebutuhan material semua orang. Dalam masyarakat ini, sangat mungkin muncul „pengkhayal‟ karena komunitas internasional secara bersama-sama bergelut dari kesibukan menghasilkan dan mengupayakan kekayaan material menuju ke tingkat di mana kebutuhan dan kepentingan manusia dianggap paling penting. Dalam dunia semacam itu, orang-orang selanjutnya berkonsentrasi untuk menjadi manusia yang lebih baik (secara material) sebagai tujuan akhir.

  • Pendidikan Formal Sebagai Agen Utama Dalam Tatanan Sosial

      Sekolah-sekolah yang merefleksikan nilai-nilai sosial dominan, menurut rekonstruksionis hanya akan mengalihkan penyakit-penyakit politik, sosial, dan ekonomi yang sekarang ini mendera umat manusia. Sekolah dapat dan harus mengubah secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Tugas mengubah peran pendidikan amatlah urgen, karena kenyataan bahwa manusia sekarang mempunyai kemampuan memusnahkan diri.

Kritik-kritik rekonstruksi sosial menandaskan bahwa Brameld dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru dan pendidik lainnya untuk bertindak sebagai instrumen utama perubahan sosial. Komentar kalangan rekonstruksionis bahwa satu-satunya alternatif bagi rekonstruksi sosial adalah kekacauan global dan kemusnahan menyeluruh peradaban manusia. Dari perspektif mereka, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk mengaburkan tuntutan mendesak transformasi sosial dan kemudian merintangi perubahan, atau instrumen untuk membentuk keyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan.

Kalangan rekonstruksionis di satu sisi tidak memandang sekolah memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial. Disisi lain mereka memandang sekolah sebagai agen kekuatan utama yang menyentuh kehidupan seluruh masyarakat, karena sekolah menyantuni anak-anak didik selama usia mereka yang paling peka. Dengan demikian sekolah bisa menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan agitator utama perubahan sosial.

  • Penerapan Prinsip Demokratis dalam Metode Pengajaran

Kaum rekonstruksionis, sebagaimana halnya aliran-aliran progresif lainnya, tidaklah tunggal dalam pandangan tentang demokrasisistem politik yang terbaik. Perspektif yang dibangun bahwa menjadi sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruang kelas setelah para peserta didik diarahkan kepadakesempatan-kesempatan untuk memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.

Brameld dalam Knight (2007: 189) menggunakan istilah “pemihakan diferensif” untuk mengungkapkan posisi (pendapat) guru dalam hubungannya dengan item-item kurikuler yangkontroversial. Dalam menyikapi hal ini guru membolehkan uji pembuktian terbuka yang setuju dan tidak setuju dengan pendapatnya, dan menghadirkan pendapat-pendapat alternatif sejujur mungkin. Di sisi lain guru jangan menyembunyikan pendirian-pendiriannya, seharusnya mau mengungkapkan dan mempertahankan pemihakannya secara publik. Di luar ini guru harus berupaya agar pendirian-pendiriannya dapat diterima dalam skala seluas mungkin.Tampaknya telah diasumsikan oleh kalangan rekonstruksionis bahwa persoalan-persoalan itu sedemikian jelas dan tegas sehingga sebagian besar akan setuju terhadap persoalan-persoalan dan solusi-solusi jika dialog bebas dan demokratis diizinkan. Beberapa pengamat memberikan catatan bahwa rekonstruksionisme mempunyai kepercayaan besar terhadap kecerdasan dan kemauan baik manusia sebagai kepercayaan utopis.

  • Pembelajaran Perubahan Sosial Pada Pendidikan Formal

      Pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan-persoalan sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberikan solusi. Kesadaran sosial kiranya dapat ditumbuhkan jika peserta didik dibuat berani untuk mempertanyakan status quo dan mengkaji isu-isu controversial dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik, dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu para peserta didik melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatf-alternatif bagi kebijaksanaan konvensional.

Ilmu-ilmu sosial, seperti antropologi, ekonomi, sosiologi, sains politik, dan psikologi merupakan landasan kurikuler yang amat membantu kalangan rekonstruksionis untuk mengidentifikasi lingkup persoalan utama kontroversi, konflik, dan inkonsistensi. Peran pendidikan adalah mengungkapkan lingkup persoalan budaya manusia dan membangun kesepakatan seluas mungkin tentang tujuan-tujuan pokok yang akan menata umat manusia dalam tatanan budaya dunia. Masyarakat dunia yang ideal, menurut rekonstruksionisme haruslah berada di bawah kontrol mayoritas warga masyarakat yang secara benar menguasai dan menentukan nasib mereka sendiri.

Mengenai kurikulum pendidikan, rekonstruksionisme menganggapnya sebagai subjek matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi

terdidik itu sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin “sains sosial” dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial.

Sementara untuk peranan guru, kaum rekonstruksionis memiliki pandangan yang sama dengan paham-paham progresivisme. Guru harus menyadarkan peserta didik terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong peserta didik untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah tersebut. Lebih jauh guru harus membantu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda secara serempak. Sekolah merupakan agen utama untuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi dimasyarakat. Tugas sekolah adalah mengembangkan “rekayasa sosial”, dengan tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat dewasa ini dan masyarakat yang akan datang. Sekolah memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Apabila tidak demikian, setiap individu dan kelompok nantinya akan memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan secara sendiri-sendiri sebagai pengaruh dan progresivisme.

Leave a Comment